Ticker

6/recent/ticker-posts

Malam 1 Suro: Padepokan Jagad Pesisir Gunungkidul Bedah Keangkeran Pertapaan Pringgodani Lawu


KARANGANYAR, JATENG (Wartajawatengah.com)_ Banyak sekali tempat laku ritual di pulau Jawa yang masih sakral dan memiliki aura ghaib yang sangat kuat , salah satunya yakni Pertapaan Pringgondani, Kawasan Gunung Lawu, dalam kawasan Wana Wisata atau hutan Lindung KPH.Surakarta, yang berada dalam Wilayah Desa Blumbang, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu (06/07/2024).



Salah satu pelaku spiritual malam 1 Suro atau 1 Muharram 1446 H, asal Gunungkidul Pupung Isbudaya bersama rombongan Padepokan Jagad Pesisir menuturkan, bahwa dalam perjalanan spiritual di Pertapaan Pringgodani Lawu ini sudah 14 kali pendakian, dan 15 kali, hari ini. Perjalanan lelaku spiritual dalam sebuah alam mengingatkan kita betapa agungnya sang pencipta, dan dalam pemberitaan ini, akan memberikan edukasi kepada pembaca dan masyarakat guna untuk mencintai melestarikan budaya peninggalan leluhur.


" Yang jelas kita dalam pemberitaan ini, memberikan informasi, memberikan edukasi bagi para pembaca, untuk mengetahui sejarah gunung Lawu, khususnya pertapaan Pringgodani ini. Kebetulan dimalam 1 suro ini, kita langsung investigasi atau sejara langsung mengikuti prosesi ritual malam 1 Suro di pertapaan Pringgodani Lawu. Jadi akan kita uraikan, ada apa, dan tempat apa saja, di pertapaan Pringgodani tersebut. Mudah-mudahan uraian kita, tidak melenceng dengan Sejarah yang ada, yang jelas tujuan kita hanya untuk mengedukasi pembaca, agar setidaknya mengetahui sejarah leluhur," Tutur Pupung.


Perjalanan ritual malam 1 Suro ke Pertapaan Pringgodani Lawu, selain di kelilingi banyak sekali tempat-tempat keramat seperti sendang, goa, punden dan batu gilang, dikalangan para spiritual kejawen. Pringgondani dianggap sebagai salah satu pancer, untuk menempa menjalani laku ilmu kesejatian hidup, serta menjadi tempat untuk pembenahan diri sekaligus merampungkan segala permasalahan saat seseorang di terpa masalah seputar duniawi.


Hampir secara keseluruhan akses jalan setapak yang menuju ke atas Pertapaan Pringgondani berada di pinggir jurang, untuk para pelaku ritual harus hati hati, pada saat menempuh perjalanan dimalam hari.


Suasana pada saat malam hari di dalam hutan sangat sunyi dan mencekam sekali, hanya bunyi binatang malam yang bersahut sahutan serta suara gemericik air terjun yg terdengar dimalam hari. Suasana seperti ini akan membuat situasi di dalam hutan Pringgondani terlihat sangat angker.


Namun pemandangan ini akan nampak jauh berbeda ketika pelaku ritual menempuh perjalanan pada waktu pagi atau pada saat siang hari. Suasana didalam hutan tampak begitu indah nan asri dengan hawa pegunungan yang sangat sejuk, ditambah lagi pemandangan alam yang sangat mempesona. Jarak yang ditempuh, kurang lebih 5 km, dari Desa Blumbang menuju  Pertapaan Pringgondani, di tempuh dengan jalan kaki sekitar tiga jam perjalanan.


Para pelaku ritual yang mendatangi tempat ini pertama kali yang akan mereka jumpai adalah Sanggar Pamujan dan Sendang Penguripan, Sanggar pamujan merupakan pintu gerbang ghoib atau awal seseorang memasuki Pertapaan, karena didalam kepercayaan masyarakat Jawa seseorang yang hendak bertamu terlebih dulu di haruskan untuk menghaturkan kulonuwun atau permisi pada saat memasuki pintu gerbang. Maka yang dimaksud berdoa di Sanggar Pamujan ini, di ibaratkan sebagai tempat untuk kulonuwun atau permisi bagi para tamu guna melakukan tirakat atau ritual.


Beberapa menit perjalanan setelah melewati pintu gerbang ghaib, pelaku ritual akan menjumpai sebuah sumber mata air yang bernama Sendang Gedang Selirang. Di tempat ini, para pelaku ritual biasanya akan membersihkan diri terlebih dulu, sebagai salah satu cara atau tradisi, pada saat hendak memasuki sebuah tempat keramat.


Terdapat beberapa tempat pemujaan di Sendang Gedang Selirang, yang dibangun sebagai sarana untuk manembah kepada Gusti Allah, dalam rangka mewujudkan rasa syukur serta menghaturkan rasa terima kasih kepada para leluhur yang ada di tempat ini.


Tak jauh dari Sendang Gedang Selirang, terdapat sebuah sumber mata air lagi yang berada tepat di bawah Pertapaan Pringgondani, sendang tersebut bernama Sendang Penguripan (permohonan kelancaran rejeki ).


Para pelaku ritual yang hendak memasuki Sanggar Pamelengan atau Pertapaan Pringgondani, biasanya akan melakukan doa wujud rasa syukur atas anugerah yang telah di berikan Gusti. Sekaligus mengucapakan rasa syukur kepada alam semesta, yang telah melimpahkan sumber alamnya, berupa mata air yang tak pernah kering bahkan di musim kemarau sekalipun.


Air yang berasal dari Sendang Penguripan,  dikalangan para pelaku ritual biasanya di pakai sebagai salah satu sarana untuk mengobati penyakit, maupun air suci untuk sembahyang ritual keagamaan, dan media lainya yang berhubungan dengan hal yang ghaib.


Air yang bersumber dari Sendang Penguripan setelah diambil dan dimasukan kedalam sebuat botol atau jerigen, lantas di sanggarkan di dalam Sanggar Palereman Pringgondani, dengan harapan agar tuah yang terkandung dari dalamnya semakin bertambah kuat. Air tersebut hanyalah sebagai perantara dari Gusti, agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan bagi seluruh umat manusia.


Berjarak dua ratus meter dari Sendang Penguripan, terdapat sumber mata air lagi yang bersumber dari dalam tebing pegunungan yang bernama Sendang Manten atau juga disebut Sendang Pancuran Pitu.


Sendang ini biasanya di pakai sebagai sarana penyucian diri, pada saat pelaku ritual hendak memohon satu harapan maupun cita cita kepada Gusti Allah. Makna manten memiliki filsafat akan kebersamaan, jodoh, satu harapan untuk menjadikan seseorang bisa bersama atau menyatu dengan segala harapan dan cita citanya. Dengan cara mandi di pancuran Sendang Manten, para pelaku ritual banyak yang telah terkabulkan permohonananya, tak terkecuali mereka yang ingin cepat mendapatkan jodoh.


Sendang Manten hanyalah sebagai sarana penyucian diri, untuk menumbuhkan rasa terima kasih kepada Alam semesta yang menjadi kepanjangan tangan Gusti Allah, agar manusia senantisa selalu ingat akan kebesaranya serta banyak ucap syukur kepadanya.


Pancuran Sendang Manten, tak hanya satu pancuran yang mengalir dari dalam pipa yang bersumber dari mata air Sendang Manten, tetapi terdapat lima pancuran yang mengalir keluar dari dalam pipa paralon, sebagai sarana untuk mandi para pelaku ritual. Menurut cerita penduduk setempat, Sendang Manten konon pernah dipakai mandi para Dewi Kahyangan, pada saat mereka hendak menuju ke sebuah Gua keramat yang berjarak empat ratus meter dari Sendang Manten.


Gua tersebut bernama Gua Pringgosari, perjalanan para dewi kahyangan ke tempat tersebut konon di cucuk lampahi ( diiringi ) seekor kerbau keramat, yang akhirnya sampailah mereka ke dalam Gua Pringgosari bersama dengan kerbau keramat tersebut.


Cerita ini sangat diyakini oleh penduduk sekitar, terbukti tanah yang ada di dalam gua Pringgosari seringkali dipakai untuk pupuk menyuburkan tanah bagi para petani, dan pelaku ritual. Konon kekuatan tuah yang ada di dalam tanah tersebut dipercaya mampu mengusir hama pertanian apabila di tanam di setiap pojok tanah persawahan.


Selain Goa Pringgosari, terdapat juga sumber mata air yang bernama Sendang Pringgosari yang tak jauh dari Goa Pringgosari. Sumber mata air Pringgosari, berasal dari cucuran air terjun yang mengumpul menjadi satu di sebuah kolam kecil di dasar tebing.


Tempat ini biasanya di pakai sebagai tempat untuk bersemedi menjalani laku kungkum mendekatkan diri kepada Sang Hyang Wasesa Jagad atau Gusti Allah. Tak sembarang orang mampu menjalani laku di tempat ini, hanya mereka yang berhati bersih dan tulus yang kuat bertapa di tempat ini. Karena tak sedikit para pelaku ritual yang mencoba ilmu atau sekedar coba coba saja akhirnya kesurupan setelah beberapa saat mereka menjalani kungkum.


Sanggar Pamelengan atau Pertapaan Pringgondani hanyalah sebuah bangunan Pesanggrahan seluas kurang lebih 8m X 5m persegi, yang di dalamnya terdapat tempat pamujaan manembah kepada Gusti dan para leluhur. Selain perabuan tempat pembakaran kemenyan dan hio, di tempat ini juga terdapat beberapa pesan yang sarat dengan nilai nilai keluhuran, agar para pelaku ritual tak menyimpang dari jalan kebenaran yang dituju.


Diantaranya pesan yang berbunyi, "Ora Pareng Nyalah gunakake Asma dalem Panembahan Kotjonagoro, mengko ndak kesiku", ( Tidak boleh menyalahgunakan nama Panembahan Kotjonagoro untuk tujuan yang tidak baik). Pesan ini untuk mengingatkan siapapun orangya yang datang berkunjung ke Pertapaan Pringgondani, agar senantiasa tetap bertuju kepada Gusti Allah segala permohonanya.


Dalam pandangan mata bathin Sanggar Pamelengan ini merupakan sebuah kamar tidur krobyongan, yang berselimutan warna keemasan menutupi seluruh peraduan.


Pertapaan tersebut hanyalah sebagai sarana untuk mengingatkan kita kepada para leluhur yang telah memberi warisan kepada para anak cucu, yang sampai sekarang ini masih bisa di rasakan manfaatnya bagi anak cucu.


Sanggar Pamelengan hanyalah sebagai tempat untuk memanjatkan puja dan puji kehadirat Gusti Allah dari para anak cucu, agar Gusti senantisasa memohonkan ampun atas segala kesalahan dan dosa para leluhur- leluhurnya.


Sanggar Pamelengan Pringgondanai atau yang lebih di kenal dengan nama Pertapaan Pringgondani sebenarnya merupakan petilasan Eyang Panembahan Kotjonagoro, adik dari Sinuhun Prabu Brawijaya V.


Terdapat banyak versi cerita mengenai keberadaan Pertapaan ini, salah satu diantaranya kompleks Pertapaan Pringgodani pada zaman dahulu kala merupakan wilayah kekuasaan Prabu Brawijaya V pada masa pelariannya dari Majapahit, hingga berakhir di Gunung Lawu.


Sebelum mengakhiri pelarianya dan berakhir muksa di puncak Hargo Dumilah, Gunung Lawu, Prabu Brawijaya menyerahkan Pertapaan Pringgondani kepada adiknya yang bernama Kotjonegoro sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pengorbanannya terhadap kerajaan Majapahit. Dan sejak saat itu Pringgondani menjadi milik Kotjonegoro sampai saat dirinya muksa.


Namun versi lain juga menceritakan, bahwa nama Pringgondani sebenarnya merupakan sanepo atau filsafat jawa yang memiliki makna sebagai tempat untuk perbaikan diri. Nama Pringgondani apabila di artika satu persatu, Pring-Nggon-Ndani. (Pring yang berarti bambu, sedangkan Nggon adalah tempat dan Ndani adalah sarana untuk memperbaiki), yang kesemuanya apabila di gabungkan menjadi tempat untuk memperbaiki diri. Bambu yang dilambangkan sebagai raga manusia apabila di perbaiki dan di rubah bentuk akan menjadi baik dan bermanfaat, tidak seperti dalam bentuk aslinya.


Sedangkan nama punden Kotjonagoro, sering kali di simbolkan sebagai sebuah perkacaan diri, seseorang ketika mereka berada di tempat ini hendaknya bisa bercermin untuk memperbaiki diri dan berusaha manembah, nyawiji kepada Gusti Allah agar menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur.


" Semoga pemberitaan ini, menjadikan edukasi untuk kita selalu mencintai, juga Nguri-Uri budaya peninggalan leluhur, dan orang Jawa bilang (Wong jowo Ojo ilang jawane), orang Jawa jangan menghilangkan tradisi jawanya," Pungkas Pupung.


(Red/Pupung)


 

Posting Komentar

0 Komentar