GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com_ Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Gunungkidul diduga telah melakukan kebijakan yang berujung pada potensi pemborosan anggaran negara, hingga puluhan miliar rupiah sejak tahun 2018.
Temuan investigatif, menyebutkan bahwa pengadaan jaringan internet oleh dinas ini diduga tidak menggunakan skema Build Operate Transfer (BOT), yang lazimnya digunakan agar infrastruktur yang dibangun pihak ketiga bisa menjadi aset milik pemerintah setelah kontrak berakhir.
Sejak tahun 2018, Dinas Kominfo membangun jaringan fiber optik (FO) untuk menopang data center pemerintah daerah,menggantikan sistem wireless yang gagal akibat kondisi geografis berbukit. Namun, untuk perluasan jaringan dan penyediaan bandwidth internet, Pemda menggandeng penyedia jasa internet swasta (ISP) dengan skema sewa penuh, bukan investasi jangka panjang.
Ironisnya, semua infrastruktur jaringan yang dibangun oleh pihak ketiga tidak diserahkan sebagai aset milik Pemda Gunungkidul, sehingga dalam jangka panjang, Pemda terus-menerus membayar biaya sewa jaringan dan bandwidth tanpa kepemilikan apapun.
Lebih memprihatinkan, harga sewa bandwidth di Gunungkidul mencapai sekitar Rp700 juta per 1 Gbps, jauh di atas harga sewa milik Pemerintah DIY di wilayah lainnya yang hanya sekitar Rp 400 juta per Gbps, itu pun sudah termasuk dalam skema BOT. Dengan BOT, setelah kontrak habis, infrastruktur diserahkan ke pemerintah sehingga biaya sewa bisa turun hingga 70 persen.
Sumber berita dirilis dari media sorot.co, juga menyebutkan dugaan adanya konflik kepentingan dimana salah satu pejabat Kominfo disebut memiliki keterkaitan dengan salah satu vendor penyedia jaringan. Selain itu, pemeliharaan jaringan yang seharusnya menjadi tanggung jawab vendor justru dilaksanakan oleh pegawai Kominfo, termasuk ASN dan tenaga kontrak, yang kemudian dilaporkan sebagai pekerjaan vendor dalam klaim tagihan.
Ketua Komisi A DPRD Gunungkidul, Gunawan saat dikonfirmasi mengaku terkejut dengan adanya informasi tersebut.
“Saya malah kaget ada temuan seperti itu. Selama ini normatif saja, ini perlu diklarifikasi dengan Dinas Kominfo,” ujar Gunawan.
Hasil investigasi mencatat, di beberapa daerah seperti Kalurahan Baleharjo, Kapanewon Wonosari, skema BOT sudah berjalan dengan baik, misalnya dalam pengelolaan aset eks terminal yang disewakan ke pihak ketiga selama 20 tahun. Setelah masa kontrak, bangunan kios menjadi aset pemerintah kalurahan.
Kondisi ini mengundang pertanyaan besar, mengapa pemerintah kabupaten tidak menerapkan kebijakan serupa untuk proyek yang menyangkut teknologi dan jaringan internet bernilai miliaran rupiah. Jika benar terjadi pemborosan akibat tidak adanya skema BOT, maka potensi kerugian negara bisa mencapai puluhan miliar rupiah hanya dalam 6 - 7 tahun terakhir.
DPRD dan lembaga pengawas lain diharapkan segera, mengusut lebih lanjut praktik ini agar tata kelola digital di Gunungkidul dapat transparan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
(Redaksi)
Social Plugin