Turuk Bintul : Kuliner “Jadah Jorok” yang Jadi Sajian Sakral di Tradisi Gumbreg Gunungkidul


GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com_

Bagi sebagian orang, nama Turuk Bintul mungkin terdengar aneh, bahkan dianggap jorok. Namun, justru di situlah daya tarik kuliner tradisional khas Gunungkidul ini,  terbuat dari beras ketan yang diolah menjadi jadah, lalu diberi taburan kacang potro—yaitu isi dari kacang panjang kering—Turuk Bintul bukan sekadar panganan kampung, melainkan bagian dari warisan budaya yang erat kaitannya dengan Tradisi Gumbreg.


Tradisi Gumbreg sendiri merupakan ritual adat Jawa yang hingga kini masih lestari di sejumlah padukuhan di Gunungkidul. Upacara ini digelar untuk mengungkapkan rasa syukur kepada hewan ternak dan peralatan pertanian yang telah membantu masyarakat dalam aktivitas bercocok tanam.


Dalam prosesi Gumbreg, warga membuat aneka hidangan hasil bumi, mulai dari ketupat, jadah, pulo (olahan jagung), hingga Turuk Bintul. Uniknya, sebagian makanan diberikan kepada hewan ternak, sebagian lain disajikan dalam acara genduri (doa bersama), lalu sisanya dinikmati bersama keluarga.


“Turuk Bintul ini jadi simbol keakraban, karena dulu satu kampung bikin bareng-bareng pas Gumbreg. Rasanya gurih, ada sensasi unik dari kacang potro yang khas,” ungkap seorang tokoh masyarakat di Rongkop.


Makna yang terkandung di balik Tradisi Gumbreg sangat dalam:


•Ungkapan syukur atas rezeki dari ladang dan ternak.

•Permohonan doa agar ternak sehat dan berkembang biak.

•Penghormatan kepada alat-alat pertanian yang menjadi sahabat petani.

•Permintaan maaf atas perlakuan yang mungkin menyakiti hewan.


Turuk Bintul, meski namanya sederhana dan terdengar kasar, justru menjadi ikon kuliner spiritual yang menyatukan masyarakat dalam nuansa kebersamaan. Di balik kelezatannya, tersimpan filosofi hidup orang desa yang menghargai alam, hewan, dan kerja keras dalam bercocok tanam.


Kini, meski jarang ditemui di pasar modern, Turuk Bintul tetap muncul tiap kali Wuku Gumbreg tiba, menjadi pengingat bahwa di tanah karst Gunungkidul, tradisi bukan sekadar warisan, melainkan identitas yang harus dijaga.





(Red/pupung)