GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com – Polemik besar mencuat dalam penyelenggaraan Festival Campursari Nasional 2025 di Kompleks Taman Budaya Gunungkidul. Acara yang seharusnya menjadi panggung kebanggaan budaya justru tercoreng oleh dugaan kecurangan.
Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, tak tinggal diam. Dalam sebuah video orasi yang viral pada Minggu (14/9/2025), ia mengecam keras praktik tidak sehat yang disebutnya “mengkhianati warisan budaya Manthous”.
“Jika benar ada kerja sama dengan Dinas Kebudayaan yang meloloskan persyaratan curang, saya pastikan akan ada tindakan tegas. Baik Kepala Dinas, Sekretaris, maupun Kepala Bidang, jangan main-main. Demi kejayaan campursari, saya tidak akan tinggal diam,” tegas Endah dengan nada tinggi.
Endah menyoroti, adanya seniman ber-KTP Gunungkidul yang justru tampil membela daerah lain, serta dugaan kelonggaran aturan panitia hingga berujung indikasi nepotisme dan manipulasi administrasi. Ia menilai tindakan itu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi sebuah “pengkhianatan budaya” yang merendahkan integritas Gunungkidul sebagai tanah kelahiran banyak maestro campursari.
Polemik ini turut ditanggapi oleh pelaku seni sekaligus tokoh campursari, Pupung Isbudaya, yang juga menjabat Wakil Ketua DPW IWOI (Ikatan Wartawan Online Indonesia) Provinsi DIY.
“Saya sependapat dengan Ibu Bupati. Seniman campursari Gunungkidul wajib membela daerahnya sendiri. Namun, mengapa ada yang justru tampil di grup luar Gunungkidul? Bisa jadi karena di daerahnya sendiri mereka kurang diberi ruang, atau jasa seni di Gunungkidul dianggap rendah,” ujar Pupung.
Ia mendesak agar Bupati melakukan sidak ke Dinas Kebudayaan, guna mencegah festival sebesar ini disalahgunakan untuk kepentingan personal maupun politik. Menurutnya, menjaga marwah campursari sama dengan menjaga persatuan seniman, serta memastikan seni asli Gunungkidul tetap dikenal di tingkat nasional bahkan internasional.
Kritik keras Bupati dan suara seniman menegaskan bahwa Festival Campursari Nasional 2025, kini berada di persimpangan. Alih-alih menjadi panggung kebanggaan, ajang ini justru rawan menjadi arena politik dan permainan kelompok tertentu.
Publik menantikan tindakan investigatif pemerintah daerah, termasuk penindakan terhadap oknum yang terlibat. Harapannya, festival ini dapat kembali menjadi simbol kejayaan budaya, bukan sekadar seremonial yang mengorbankan integritas seni dan harga diri daerah.
(Red/Pupung)

.png) 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
%20(8).jpeg) 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Social Plugin