Saat Pemimpin Tersandung, Warga Bohol Meminta Kebijakan yang Lebih Manusiawi

GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com— Di antara dinding sunyi Balai Kalurahan Bohol, harapan masyarakat menggantung seperti doa yang belum sempat terucap.

Mereka meminta hukum tetap tegak, tetapi juga mempertimbangkan sisi manusiawi dalam perkara yang menimpa Lurah Bohol, Margono—sosok yang selama ini dikenal jujur, sederhana, dan tak pernah neko-neko dalam menjalankan tugasnya.


Air mata warga mengalir ketika kabar penahanannya tersebar.

Kalurahan serasa rumah tanpa penghuni, sepi dari komando, hampa dari arah.

Mereka tidak mempersalahkan proses hukum—karena hukum berjalan berdasarkan bukti.


Namun hati kecil warga bertanya, mau dibawa ke mana tata pemerintahan ini, bila semua pilar satu per satu roboh?

Di rumah kecil di sudut Bohol, seorang istri menangis pelan.

Anak-anak bertanya lirih,


“Apa salah Bapak? Mengapa namanya dibawa angin ke segala penjuru, dengan kata-kata yang bahkan tak pantas ia dengar?”


Pertanyaan polos yang menusuk lebih tajam dari pemberitaan yang viral di mana-mana.

Warga memahami, pengalaman pahit ini mungkin kelak menjadi pelajaran bersama—bahwa terkadang, dalam ruang kerja yang rumit, kebaikan dan kejujuran pun dapat terseret oleh langkah orang lain yang bermain di jalan gelap.


Namun tetap saja, mereka berharap ada ruang pertimbangan, ruang maaf, ruang pembenahan.


Kini, Kalurahan Bohol berdiri dengan banyak kekosongan.

Pangrepto telah berpulang.

Danarto purna sebulan lalu.

Dua dukuh—Songgoringgi dan Wuru—belum terisi.

Dan kini, Lurah dan Carik tersangkut perkara yang memayungi seluruh nagari.


Roda pemerintahan terseok, pelayanan publik terhambat.

Dan yang paling merasakan luka ini adalah masyarakat kecil yang setiap hari menunggu pintu kantor kalurahan tetap terbuka.

Maka, dari hati yang paling dalam, warga bersuara lirih:


“Berilah kami pemimpin. Berilah kebijakan yang bijak. Berilah kesempatan—atau setidaknya mukjizat kecil—agar pemerintahan kami tidak runtuh sebelum fajar datang.”


Sebab masyarakat hanya ingin satu hal:

kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, dengan pemimpin yang tetap ada untuk mengurus nasib mereka.




(Red/Pupung)