GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com – Musim panen singkong di wilayah Kalurahan Bohol, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul, diwarnai keprihatinan. Para petani menghadapi dilema harga jual yang rendah sementara ongkos tenaga kerja justru membengkak.
Hasil panen singkong yang biasanya diolah menjadi gaplek kini lebih banyak dijual mentah. Alasannya sederhana: biaya untuk mengupas hingga menjemur singkong menjadi gaplek tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.
“Sekarang harga singkong hanya Rp500 per kilogram, sementara harga gaplek Rp1.500 per kilogram. Tetapi untuk membuat gaplek, petani harus mengeluarkan biaya tenaga kerja cukup besar, mulai dari mengupas hingga menjemur berhari-hari,” ungkap Joko Prehatin, salah satu warga setempat, Sabtu (6/9/2025).
Ia menambahkan, meski harga gaplek relatif stabil, banyak petani memilih menjual singkong mentah.
“Regane telo (harga singkong) mudun, nanging rega gaplek ajeg. Nanging yen digawek gaplek, regane entek nang tenogo (harga singkong turun, harga gaplek tetap, tapi kalau dijadikan gaplek, habis untuk ongkos tenaga),” ujarnya.
Investigasi wartajawatengah.com menemukan bahwa pola tumpang sari menjadi sistem tanam yang umum di Rongkop. Setelah panen padi dan kacang, singkong menjadi tanaman terakhir yang dipanen. Namun, lemahnya posisi tawar petani terhadap tengkulak serta tidak adanya akses pengolahan pascapanen yang efisien, membuat petani terjepit.
Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada keberlanjutan pertanian singkong di Gunungkidul. Jika harga terus merosot tanpa solusi, petani bisa kehilangan motivasi menanam singkong, padahal komoditas ini selama ini menjadi penopang ekonomi masyarakat pedesaan.
(Red/Pupung)
Social Plugin