GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com — Saat sebagian orang mencari menu modern di kafe dan restoran, warga Gunungkidul justru menyambut datangnya musim kuliner ekstrem yang unik dan penuh cerita : musim puthul. Fenomena tahunan ini bukan sekadar berburu makanan, melainkan tradisi, ekonomi, dan petualangan rasa yang berpadu dalam satu malam, Jumat (10/10/2025).
Selepas magrib, ketika cahaya mulai meredup, sejumlah warga membawa obor, senter, hingga botol air mineral bekas. Mereka menyusuri kebun dan semak belukar untuk memburu puthul, hewan kecil menyerupai serangga yang hidup di dedaunan.
“Waktu terbaik ya malam hari, karena puthul keluar mencari embun. Kami tinggal memungutnya saja,” ujar Aris, salah satu pemburu puthul asal Kapanewon Tepus, sambil menunjukkan botol berisi hasil buruannya.
Meski terkesan ekstrem, puthul justru menjadi kuliner yang digemari sebagian masyarakat. Selain dijadikan lauk keluarga, puthul juga menjadi sumber penghasilan tambahan. Satu botol bekas air mineral ukuran 500 ml bisa dijual sekitar Rp20 ribu, sementara ukuran besar 1.500 ml dibanderol Rp50 ribu.
“Kadang belum sempat masak sudah ada yang pesan,” kata Aris sambil tersenyum bangga.
Proses pengolahan puthul sederhana namun khas. Hewan kecil ini direndam air panas untuk menghilangkan lendir dan kotoran, lalu dicuci bersih. Setelah itu, bisa digoreng renyah atau dibacem dengan bumbu manis gurih.
“Pokoknya gampang dan rasanya gurih banget. Teman-teman saya yang awalnya geli malah ketagihan,” tambahnya.
Namun di balik sensasi rasa gurihnya, ada catatan penting bagi penikmatnya. Beberapa orang yang memiliki alergi terhadap serangga bisa mengalami bidhuren atau gatal-gatal di kulit.
“Tidak semua orang cocok, tapi bagi yang sudah biasa, ini lauk istimewa,” jelas salah satu warga.
Musim puthul sendiri bersifat musiman, hanya muncul pada waktu tertentu saat kondisi tanah lembab dan tanaman rimbun. Itulah yang membuatnya terasa istimewa dan menjadi bagian dari identitas kuliner lokal Gunungkidul.
Puthul paling nikmat disantap bersama tiwul hangat, ikon pangan khas Gunungkidul. Di antara obor yang berkerlip di malam sunyi, aroma gorengan puthul dari dapur-dapur warga menjadi penanda sederhana bahwa di bumi karst ini, setiap musim punya cerita rasa tersendiri, tentang ketahanan, kreativitas, dan cinta pada tradisi.
(Red/pupung)
Social Plugin