GUNUNGKIDUL, DIY || wartajawatengah.com — Proyek revitalisasi SMK Negeri 1 Nglipar, Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, kini tengah menjadi bahan perbincangan di media sosial dan sejumlah media daring. Sejumlah warga mempertanyakan minimnya pelibatan masyarakat lokal dalam pelaksanaan proyek yang menggunakan dana APBN lebih dari Rp2 miliar tersebut.
Proyek ini merupakan bagian dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang digagas Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, dengan tujuan mempercepat peningkatan sarana pendidikan yang layak dan berstandar nasional. SMK Negeri 1 Nglipar termasuk penerima bantuan sebesar Rp2.010.826.000 melalui mekanisme swakelola tipe 2, yang mengedepankan partisipasi sekolah dan komite pendidikan.
Ketua Komite Sekolah, Muh Mugino (85), membenarkan bahwa proyek ini dikelola langsung oleh pihak sekolah dan komite tanpa melibatkan pihak ketiga.
“Ya, pelaksanaan dilakukan secara swakelola oleh sekolah bersama komite. Kami tetap berupaya menjalankan sesuai aturan,” ujarnya, Sabtu (25/10/2025).
Namun, di tengah proses pembangunan, muncul suara kritis dari masyarakat sekitar. Sejumlah warga mengaku kecewa karena pelibatan tenaga lokal dinilai minim.
“Seharusnya warga sekitar bisa ikut bekerja, apalagi saat ekonomi sedang sulit,” ujar BG, salah seorang warga setempat.
Selain soal tenaga kerja, warga juga menyoroti kurangnya keterbukaan informasi. Pengawas proyek disebut enggan menunjukkan dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB) kepada warga yang menanyakan. Padahal publik memiliki hak untuk mengetahui informasi, penggunaan dana negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Aturan lain, yakni Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, menegaskan bahwa pekerjaan dengan sistem swakelola juga bertujuan memberdayakan masyarakat lokal.
Menanggapi sorotan itu, Kepala SMK Negeri 1 Nglipar, Wardaya, S.Pd., M.Pd., menegaskan bahwa pihaknya tetap melibatkan warga setempat dalam proyek pembangunan ruang praktik tersebut.
“Sekitar 90 persen pekerja berasal dari warga lokal. Hanya sebagian kecil yang dari luar karena alasan teknis dan ketersediaan tenaga terampil,” jelasnya.
Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh pengawas lapangan, Fahri, yang mengungkapkan bahwa dari total 30 pekerja, sekitar 10 orang berasal dari wilayah Tepus.
“Total ada 30 pekerja, dan memang ada beberapa dari luar Nglipar, tapi masih dalam lingkup Kabupaten Gunungkidul,” ujarnya.
Proyek yang dimulai sejak 26 Agustus 2025 dan ditargetkan rampung 13 Desember 2025 itu kini terus diawasi publik. Warga berharap, pelaksanaan proyek bukan sekadar memenuhi target fisik, tetapi juga menghadirkan manfaat sosial nyata bagi masyarakat sekitar sekolah.
Sorotan yang muncul di media sosial menjadi sinyal penting agar setiap pelaksanaan program pemerintah — terlebih yang menggunakan dana publik — benar-benar menjunjung transparansi, akuntabilitas, dan pemberdayaan masyarakat lokal sebagai bagian dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
(Red/Pupung)

Social Plugin