Dugaan Kekerasan Santri Berujung Kematian, Pengawasan Ponpes Dipertanyakan


WONOGIRI, JATENG || wartajawatengah.com— Meninggalnya MA (12), santri Pondok Pesantren Santri Manjung, Kabupaten Wonogiri, yang diduga menjadi korban kekerasan sesama santri, menuai sorotan tajam publik. Peristiwa ini tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga memunculkan kritik serius terhadap sistem pengawasan, pencegahan kekerasan, serta mekanisme perlindungan anak di lingkungan pesantren, Kamis (18/12/2025).


Pengasuh Ponpes Santri Manjung, Eko Julianto, mengaku terkejut atas kejadian tersebut dan menyatakan sepenuhnya menyerahkan penanganan kasus kepada Polres Wonogiri.


“Kita pasrahkan ke kepolisian. Semua kalut atas peristiwa ini. Biar Polres yang mengurusi semuanya,” ujar Eko.


Namun, pernyataan tersebut dinilai belum menjawab pertanyaan mendasar publik terkait fungsi pengawasan internal pondok. Pasalnya, Eko yang juga anggota Polres Wonogiri berpangkat Bripka, mengakui sempat bertemu korban pada Sabtu (13/12/2025), dua hari sebelum korban dilaporkan dalam kondisi kritis.


Menurut Eko, saat itu MA terlihat tidak fit dan mengaku telah meminum obat. Ia menegaskan tidak mengetahui adanya luka lebam pada tubuh korban.


“Sabtu itu saya tidak tahu (ada luka lebam). Kan itu waktu ngaji. Saya tidak tahu lebam-lebam,” katanya.


Sehari setelah pertemuan tersebut, korban izin sakit dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Kondisinya terus memburuk hingga pada Senin (15/12/2025) korban dinyatakan meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif.


Rangkaian kejadian ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak, terutama terkait dugaan kelalaian dalam mendeteksi tanda-tanda kekerasan sejak dini. Publik mempertanyakan sejauh mana standar operasional pengasuhan diterapkan, serta bagaimana mekanisme pelaporan dan penanganan jika terjadi konflik atau kekerasan antar-santri.


Di sisi lain, pihak pondok menyampaikan telah melakukan takziah ke rumah duka dan menggelar doa bersama untuk almarhum MA (12) bakda salat Isya. Meski demikian, simpati tersebut dinilai belum cukup tanpa diiringi evaluasi menyeluruh dan transparan atas sistem pengasuhan di lingkungan pondok.


Kasus ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan di lembaga pendidikan berbasis asrama dan menjadi peringatan keras bagi seluruh pengelola pesantren agar memperkuat pengawasan, membangun sistem perlindungan anak yang efektif, serta memastikan lingkungan pendidikan benar-benar aman bagi santri.


Aparat penegak hukum diharapkan mengusut tuntas kasus ini secara objektif dan terbuka demi keadilan bagi korban dan keluarganya.




(Red/giyarto)