Makam Santri Manjung Dibongkar, Dugaan Kekerasan di Lingkungan Ponpes Kian Terkuak

WONOGIRI, JATENG || wartajawatengah.com — Kasus meninggalnya M Mahzar Anwar (12), santri Pondok Pesantren (Ponpes) Manjung, kembali membuka luka lama tentang lemahnya pengawasan dan sistem perlindungan anak di lingkungan pendidikan berbasis asrama. Aparat dari Polres Wonogiri telah mengamankan sembilan santri yang diduga terlibat dalam peristiwa penganiayaan yang berujung kematian tersebut. Seluruhnya masih berstatus anak di bawah umur.


Kasatreskrim Polres Wonogiri, Iptu Agung Sadewo, menyampaikan bahwa korban dan sembilan santri yang diamankan merupakan penghuni pondok yang sama. Mereka kini menjalani pemeriksaan intensif untuk memetakan peran masing-masing dalam peristiwa tragis yang diduga terjadi pada Sabtu (13/12/2025) di lingkungan Ponpes Manjung, Desa Manjung, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri.


“Ada beberapa yang kita amankan, kurang lebih sembilan orang. Semuanya masih di bawah umur dan berstatus sebagai santri,” ujar Iptu Agung saat diwawancarai jelang proses ekshumasi di Desa Wonorejo, Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar, Jumat (19/12/2025).


Berdasarkan penyelidikan awal, dugaan pengeroyokan dipicu persoalan sepele: korban dinilai tidak mengindahkan perintah senior atau rekan sebayanya untuk mandi dan mencuci. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah praktik kekerasan terselubung—atas nama disiplin—masih terjadi dan dibiarkan di lingkungan pondok pesantren.


Ketika ditanya soal kemungkinan kekerasan sebagai “tradisi”, pihak kepolisian memilih berhati-hati dan meminta konfirmasi langsung kepada pengelola ponpes. Sikap ini dapat dipahami dari sisi hukum, namun di sisi lain menegaskan perlunya audit menyeluruh terhadap sistem pembinaan, relasi senior–junior, serta mekanisme pengaduan di lembaga pendidikan berasrama.


Dalam proses penyidikan, polisi telah menyita sejumlah barang bukti, antara lain pakaian korban, hasil rontgen, rekam medis, serta alat tulis tipe-x. Penyebab pasti kematian korban masih menunggu hasil resmi autopsi. 


“Kami tidak bisa menduga-duga. Kepastian penyebab kematian korban baru bisa kami sampaikan secara detail setelah hasil autopsi keluar,” tambah Iptu Agung.


Selain sembilan santri, penyidik juga telah memeriksa lima saksi dari unsur pengelola dan pengurus pondok pesantren, serta menelusuri kemungkinan keberadaan rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian. Hingga kini, para santri yang diamankan belum ditahan secara resmi dan masih menjalani pemeriksaan intensif.


Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum evaluasi nasional. Negara, melalui kementerian terkait dan pemerintah daerah, dituntut tidak hanya hadir saat tragedi terjadi, tetapi memastikan sistem pengawasan, standar pengasuhan, dan perlindungan anak di lembaga pendidikan keagamaan berjalan nyata. 


Tanpa langkah tegas dan transparan, tragedi serupa berpotensi terus berulang—dengan korban anak-anak yang seharusnya dilindungi.





(Red/giyarto)